IMPLEMENTASI MODEL KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN

IMPLEMENTASI MODEL KONSTRUKTIVISME
DALAM PEMBELAJARAN
Oleh:
K H A I R I L

PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Paradigma pembangunan pendidikan dewasa ini telah bergeser dari pola teacher centered ke student centered learning, dari orientasi filosofis yang lebih menekankan dimensi obyektivis-positivis ke subyektivis-interpretif. Indikator yang memperkuat asumsi tersebut adalah: Pertama, digulirkannya kebijakan pemerintah tentang penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas, yang sejatinya keberadaan KTSP tersebut telah memberi peluang cukup signifikan terjadinya kreatifitas lokal (local genius) dalam pengembangan pembelajaran di sekolah, dengan tetap memperhatikan standar kompetensi keilmuan yang ditetapkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan); Kedua, sistem evaluasi pembelajaran yang harus dikembangkan guru adalah penilaian internal (internal assessment) yang terjelma dalam model penilaian kelas yang dilakukan melalui beragam cara, yaitu: penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap (afektif), penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil karya peserta didik (potofolio) dan penilaian diri (self assessment) Apabila mencermati arah perkembangan pendidikan di era transformasi Iptek dan globalisasi kehidupan dewasa ini, nampak bahwa proses pembelajaran di kelas harus mampu mengarah pada upaya membangun iklim belajar kompetitor, pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan (PAKEM), pembelajaran yang mampu mendorong peserta didik menginternalisasi dan mentransformasi pengetahuan yang baru. Pola strategi pembelajaran tersebut oleh para ahli sering disebut dengan pola pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme (Brooks & Brooks, 1999). Jadi, penguasaan pendekatan konstruktivisme oleh setiap guru dalam proses pembelajaran di kelas adalah suatu keharusan (keniscayaan) dalam rangka mengantarkan peserta didik mampu Mengembangkan potensi diri secara maksimal.
B. Permasalahan Konstruktivisme di Kelas
Apakah setiap guru dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah atas telah mempunyai background knowlidge tentang beragam inovasi pembelajaran termasuk pendekatan konstruktivisme?, dan bagaimana Strategi penerapan pendekatan konstruktivismeme dalam proses belajar mengajar di kelas?. Dua permasalah inilah yang menjadi fokus analisis makalah ini, dengan harapan mampu memberi alternatif wacana bagi guru tentang penerapan pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran di kelas.

PEMBAHASAN
A. Teori Pendekatan Konstruktivismeme
Akar filosofis pendekatan pembelajaran konstruktivisme adalah berorientasi pada filsafat idealisme, sedangkan pendekatan pembelajaran behavioristik atau obyektivis berakar pada positivisme. Konstruktivismeme (contructivisme) merupakan orientasi filosofis pendekatan konstektual (Zahorik, 1999; Sagala,2006). Teori konstruktivismetik dikembangkan oleh piaget pada pertengahan abad ke 20 (Sanjaya, W., 2007). Menurut Piaget, bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya untuk sementara setelah itu dilupakan. Mengkopnstrusi pengetahuan menurut Piaget dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada. Skema adalah struktur kognitif yang terbentuk melalui proses pengalaman. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema yang telah terbentuk, dan akomodasi adalah proses perubahan skema. Secara lengkap teori konstruktivismetik penerapannya banyak dijumpai dalam strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir peserta didik atau menekankan pada keaktifan peserta didik (Sanjaya, W.,2007). Dalam prespektif historis, sebenarnya pendekatan pembelajaran yang lebih menekankan pada student centered learning di kelas telah lama dikembangkan oleh John Dewey di Amerika. Ada beragam pendekatan yag sama-sama berorientasi peserta didik aktif, yaitu pendekatan discovery learning, pendekatan constectual teaching and lerning (CTL); dan pendekatan konstruktivisme (PK). Khusus tentang pendekatan kontrukstivis, adalah suatu jenis pendekatan pembelajaran yang lebih menekankan aspek keaktifan peserta didik dalam PBM. Pendekatan konstruktivisme ada sedikit kesamaan dengan pendekatan Discovery Learning (PDL), karena keduanya memandang peserta didik sebagai individu kreatif, inovator dan ilmuwan kecil, bedanya bila PDL memandang peserta didik berusaha untu menemukan pengetahuan yang sudah ada, sedangkan PK peserta didik berusaha untuk menemukan/membangun (construct) pengetahuan baru (Fachrurrazy, 2001). Konstruktivismeme berbeda dengan Behaviorisme dan Naturalisme, Behaviorisme menekankan keterampilan sebagai tujuan pengajaran, konstruktivismeme lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, sedangkan Naturalisme lebh menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah-langkah perkembangan kedewasaan. Konstruktivismeme lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif peserta didik (Suparno, 1997). Dalam teori Naturalisme, bila seseorang mengikuti tahap atau langkah-langkah perkembangan yang ada, dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang makin lengkap. Sedangkan menurut Konstruktivismeme adalah, apabila seseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri secara aktif, meskipun ia berumur tua pengetauannya tetap tidak akan bisa berkembang (Solichan A, 2003). Proses pembelajaran yang berorientasi pada aliran behavioristik (yaitu teori yang mengagungkan pada pembentukan perilaku peserta didik penuih keteraturan, ketertiban, ketaatan dan kepastian) dianggap untuk era sekarang sudah tidak realistis (Degeng, 2000). Pendekatan pembelajaran yang relevan dengan kondisi tuntutan kehidupan era sekarang adalah pendekatan konstruktivisme. Menurut para ahli, bahwa PK dianggap relevan untuk menyiapkan dan membangun peserta didik memiliki kemampuan: (a) mengaitkan pengalaman, pengetahuan dan keyakina yang telah ada pada diri anak untuk menafsirkan obyek dan peristiwa baru; (Jonassen, 1991); (b) meningkatkan daya inkuiri dan inovasi peserta didik untuk menemukan pengetahuan baru; (c) menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, karena setiap peserta didik diberi kesempatan untuk ikut menentukan tujuan pembelajaran dan pengembangan ilmu (sebagai ilmuwan kecil); (d) membangun sikap mental kooperatif sesama peserta didik, karena pendekatan ini lebih banyak menuntut kerja kelompok; (e) membangun sikap mental peserta didik untuk tolerir, tidak eksklusif terhadap sudut pandang yang berbeda; dan (f) membangun sikap mental tanggap terhada persoalan baru, mudah memecahkan problem kekinian, karea proses pembelajarna lebih memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dari kondisi time and space (Fachrurrazy, 2001).
B. Penerapan Pendekatan Konstuktivis dalam PBM KTSP
Ada beberapa alternatif pilihan atau langkah strategis yang dapat dilakukanoleh setiap guru untuk menerapkan pendekatan konstruktivisme (PK) dalam PBM KTSP, antara lain: sebelum menerapkan PK dalam PBM setiap guru harus memahami betul ciri-ciri pembelajaran yang menggunakan PK. Menurut Car dkk, dalam Fachrurrazy (2001) ciri-ciri pembelajaran dengan PK adalah:
1. Peserta didik lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses integrasi pengetahuan yang baru dengan pengalaman, pengetahuan mereka yang telah ada dalam pikirannya;
2. setiap pandangan yang berbeda akan dihargai dan diperlukan. Peserta didik didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan jawaban dalam mensintesiskan secara terintegrasi;
3. proses pembelajaran harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing secara negatif. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan peserta didik untuk mengingat pelajaran lebih lama
4. kontrol kecepatan dan fokus pelajaran ada pada peserta didik. Cara ini akan lebih memberdayakan peserta didik lebih dinamik inovatif, dan
5. pendekatan konstruktivisme memberikan pengakuan belajar yang tidak terlepas dari konteks dunia nyata peserta didik.
Agar mampu mewujudkan kelima ciri tersebut, maka setiap guru harus terus membangun kualitas pemahaman disiplin ilmu yang diampu baik secara tekstual maupun kontekstual, karena posisi guru dalam PK adalah mediator selama PBM. Melihat realitas empirik, nampak masih begitu banyak guru –guru yang belum secara maksimal melakukan pengembangan kompetensi profesionalnya. Olehnya itu dalam era KTSP sekarang ini setiap guru harus punya komitmen yang kokoh untuk terus meningkatkan kualitas kompetensi prosefi atau akademiknya (insan pengembang Iptek). Setelah guru memahami ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme, kemudian guru menerapkannya dalam proses pembelajaran di kelas, dengan memperhatikan karakteristik materi pembelajaran yang cocok untuk pendekatan pembelajaran konstruktivisme. Menurut Brook & Brook (1999), bahwa ciri sikap dan perilaku guru yang menerapkan pendekatan konstruktivisme dalam PBM adalah:
1. guru menganjurkan dan menerima otonomi dan inisiatif peserta didik dalam memahami, menginterpretasi materi pelajaran
2. guru menggunakan data primer dan bahan manipulative dengan penekanan pada ketrampilan berpikir kritis peserta didik
3. ketika penyusunan tugas-tugas materi pelajaran, guru memakai istilah-istilah kognitif seperti: klasifikansikanlah; analisilah; ramalkanlah; dan ciptakanlah
4. guru menyertakan respons peserta didik dalam rangka pengendalian pelajaran, mengubah strategi pembelajaran dan mengubah isi materi pelajaran
5. guru menggali pemahaman, pengetahuan atau pengalaman peserta didik tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan sebelum konsep-konsep baru tentang materi pelajaran yang akan dikaji
6. guru menyediakan kondisi pembelajaran di kelas yang konmdusif agar peserta didik dapar berdiskusi dengan baik dengan dirinya maupun dengan peserta didik yang lain untuk memecahkan permasalahan
7. guru mendorong sikap inkuiri peserta didik dengan menanyakan sesuatu yang menuntut berpikir kritis-sistematis, menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan mendorong peserta didik agar berdiskusi antar teman
8. guru mengolaborasi respon awal peserta didik atau guru sebagai mediator pemikiran-pemikiran peserta didik yang konstruktif
9. guru mengikutsertakan peserta didik dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan kontradiksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong untuk mendiskusikan sesama teman dan memecahkannya
10. guru menyediakan waktu tunggu bagi peserta didik untuk memecahkan beberapa pertanyaan atau problem yang diajukan
11. guru menyediakan waktu untuk peserta didik dalam mengkontruksi hubungan-hubungan dan menciptakan analogi atau kiasan-kiasan; dan
12. guru memelihara sikap keingintahuan alamiah peserta didik melalui peningkatan frekuensi pemakaian model siklus belajar.
Dalam penerapan dua belas ciri pembelajaran konstruktivisme di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru, yaitu: (a) guru berusaha mencari pandangan/pendapat peserta didik dan membuatnya sebagai titik tolak untuk memulai pelajaran. Guru tidak boleh otoriter dalam menentukan topik pelajaran; (b) guru mengarahkan kegiatan belajar untuk menantang apa yang menjadi keyakinan peserta didik; (c) guru dalam menyajikan pelajaran memunculkan problem yang baru dan relevan bagi peserta didik; (d) guru dalam merancang pembelajaran (RPP) mulai dari konsep dasar dan ide dasar, bukan bagian-bagian kecil yang terpisah satu sama lain; (e) guru memberikan penilaian hasil belajar peserta didik dalam konteks proses belajar, menggunakan pola penilaian internal (internal assessment); dan (f) guru harus tetap tanpa henti membangun kualitas akademiknya, membangun semangat menyelidik dan meneliti (sense of inquiry dan sense of research), serta guru selalu berkaca diri yang menyangkut self concept, self idea, dan self reality (Satori, dkk, 2007). Tanpa upaya diri untuk terus membangun kualitas akademik, kepribadian dan sosialnya, sulit seorang guru menjadi mediator yang baik dalam pembelajaran konstruktivisme. Poin keenam ini mejadi kunci keberhasilan pembelajaran konstruktivisme, sebab bagaimana mungkin pembelajaran konstruktivisme akan bisa berhasil apabila gurunya sendiri wawasan keilmuannya tidak berkualitas, tidak multidimensi dan tidak prospektif.

C. Kontruktivisme dalam Pembelajaran Bahasa
Membaca merupakan suatu proses tempat peserta didik membangun pemahaman baru secara aktif dengan berinteraksi pada lingkungan dan memodifikasi pengertian-pengertian baru yang diterimanya sesuai dengan perspektifnya. Dalam belajar membaca yang menggunakan pendekatan konstruktivisme, peserta didik diberi kesempatan mengobservasi lingkungan, benda-benda, kegiatan-kegiatan, atau gambar yang berhubungan dengan bacaan, membaca bebas bahan yang disediakan (buku, majalah, surat kabar, komik dan bentuk lain dari bacaan anak-anak) serta memahaminya sesuai dengan perspektifnya sendiri (Cox dan Zarillo, 1993:7; Wilson, 1996:27). Di sini guru dapat membantu peserta didik memahami konsep yang sukar dengan menggunakan gambar dan melalui demonstrasi (Slavin, 1994:229).
Wilson (1996:26) menyatakan bahwa aktivitas model pembelajaran konstruktivisme adalah: (1) mengobservasi, (2) menyusun interpretasi, (3) kontekstualisasi, (4) masa belajar keahlian kognitif, yaitu melakukan observasi, interpretasi, dan kontekstualisasi dengan menggunakan permainan, guru memberikan contoh membaca, menonton permainan, atau memberikan penjelasan, (5) kolaborasi, (6) interpretasi ganda, yaitu interpretasi setelah berkolaborasi, dan (7) manifestasi ganda, yaitu memperoleh kemampuan berdasarkan interpretasi sebelumnya. Dalam kaitan itu Suparno (1997:49) menyatakan bahwa prinsip-prinsip konstruktivisme dalam belajar adalah: (1) pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar, (3) peserta didik aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, dan (4) guru membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus.
Pelaksanaan pembelajaran membaca pemahaman dengan pendekatan konstruktivisme perlu disesuaikan dengan fasilitas, pengetahuan, dan kemampuan serta sistem pendidikan yang berlaku. Hal itu terjadi karena pendekatan konstruktivisme menggunakan teori belajar konstruktivis dan prinsip pembelajarannya disesuaikan dengan situasi. Dalam hal ini, peserta didik akan dituntut aktif belajar, mengobservasi, menginterpretasi, berkolaborasi dan diusahakan mampu memahami sendiri wacana yang dibaca sesuai dengan skemata yang dimiliki dan perspektif yang dipakai untuk menginterpretasi bacaan tersebut.

PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan penulisan makalah ini, dapat dituliskan beberapa ksimpulan yaitu:
1. Penerapan model belajar konstruktivisme dalam pembelajaran berimplikasi terhadap Orientasi Pembelajaran. Pembelajaran dengan model belajar konstruktivisme tidak berorientasi pada produk tetapi berorientasi pada proses. Pembelajaran tidak dirasakan sebagai suatu proses pembebanan yang semata-mata berorientasi pada kemampuan siswa dalam merefleksikan apa yang dikerjakan atau diinformasikan guru. Penekanan pembelajaran terletak pada kemampuan siswa untuk mengemukakan argumentasi dan mengorganisasi pengalaman.dalam hal ini akan dapat mengungkapkan miskonsepsi siswa dan memperbaharuinya.
2. Penerapan model belajar konstruktivisme dalam pembelajaran menuntut perubahan peran guru khususnya dalam cara pandang terhadap siswa. Model belajar konstruktivisme sangat memperhatikan jaringan ide-ide yang ada dalam struktur kognitif siswa. Pengetahuan bukanlah gambaran dari suatu realita.. Transformasi pengetahuan dalam konstruktivismeme adalah pergeseran siswa sebagai penerima pasif informasi menjadi pengkonstruksi aktif dalam proses pembelajaran. Siswa dipandang sebagai subyek yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan masing-masing.

B. SARAN
1. Para guru disarankan untuk menggunakan model belajar konstruktivisme sebagai model belajar alternatif dalam pembelajaran. Model belajar konstruktivisme telah mampu mengubah miskonsepsi siswa menjadi konsep ilmiah.
2. Pembelajaran sangat sarat dengan konsep-konsep yang membutuhkan penalaran tinggi. Agar hasil belajar yang dicapai lebih optimum maka para guru fisika sebaiknya selalu memperhatikan penalaran formal yang telah dimiliki siswa. Sehingga strategi pengubah miskonsepsi dapat ditentukan dengan tepat. Telah terbukti bahwa kualitas miskonsepsi yang dimiliki siswa sangat tergantung pada penalaran formal siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Sanjaya, W. 2007. Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Penerbit Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivismememe dalam Pendidikan. Penerbit Kaniius. Yogyakarta

Posted on Oktober 29, 2011, in Tak Berkategori. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar